Artikel





Senjata SUNDA 

SENJATA TRADISIONAL JAWA BARAT
Manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk sempurna secara hakekat, namun dalam kesempurnaannya itu memiliki kelemahan-kelemahan yang dimiliki secara fisik. Berbeda sekali dengan makhluk lainnya seperti hewan, organ-organ tubuh hewan memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak dimiliki man...usia. Manusia dengan kesempurnaannya memiliki kelebihan yang berbeda pula dengan makhluk hewan lainnya. Maka dengan demikian untuk menutupi kelemahannya itu manusia menciptakan sesuatu yang mampu membantu manusia dalam menghadapi dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Dalam memenuhi kebutuhannya, awal mula manusia melihat alam sebagai guru, seperti dalam mempertahankan diri, manusia melihat hewan dalam bertarung, maka sihung, kuku, siih, tanduk ‘taring, cakar, taji, tanduk’ dll, dari hewan itu dijadikan sebagai senjata dalam mempertahankan hidupnya dari gangguan alam. Begitu pula dalam melindungi diri dari dingin malam dan panasnya siang, maka bulu dan kulit dijadikan pelindung badannya; bagaimana manusia melihat hewan dalam membuat sangkar dan menggali lubang untuk berteduh dan dijadikan ‘rumahnya’, manusia melihat seperti itu lalu dikembangkan dengan akal dan pikirannya.

Kebutuhan manusia tersebut perlu diusahakan dengan berbagai pengetahuan dan teknik yang dikuasai manusia untuk mengatasi keterbatasan kemampuan manusia. Manusia kemudian menciptakan alat-alat untuk memudahkan ia mengatasi tantangan dari lingkungannya. Salah satu alat yang dibuat oleh manusia untuk menghadapi tantangan dari lingkungan (dalam arti luas), manusia membuat senjata yang berguna untuk menyerang ‘offence’, membela diri ‘defence’, berperang, berburu, dan sarana peralatan hidup lainnya, sehingga senjata yang dipergunakannya sangat bervariasi.

Masyarakat Sunda yang berdomisili di Jawa Barat, sebetulnya memiliki senjata yang banyak jenisnya, mulai dari golok, pedang, Tumbak, dan lain-lain. Malah ada satu senjata yang dianggap sangat keramat dan bermakna bagi masyarakat Sunda, yaitu KUJANG dan KERIS. Senjata ini dianggap sebagai senjata warisan nenek moyang dan sangat artifisial dan menunjukkan sebagai ciri khas senjata Jawa Barat. Sedangkan senjata keris, walaupun dalam sejarah dikatakan bahwa keris berasal dari Jawa Barat, dianggap senjata yang datangnya dari Wetan. Keris dianggap sebagai senjata bertuah dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai perhatian dalam dunia mistis.

Bila kita lihat dalam sebuah pabukon heubeul, di sana dikatakan bahwa keris merupakan senjata milik sang prabu yang gunanya untuk membunuh, sedangkan kujang, senjata yang dimiliki oleh petani. Dalam sebuah naskah kuno yang dijadikan ensiklopedia masyarakat Sunda, yaitu Naskah Siksa Kanda Ng Karesian tahun 1518 (Atja, 1981) disebutkan : “Sawalwira ning teuteupaan ma, telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prabu ma : pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris, raksasa pinahka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma : kujang, baliung, patik, kored, sadap; detya pinahka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma : kala patri peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi; danawa pinahkan dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui : di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sareanana eta ma panday tanya”
Artinya: “Segala hasil tempaan, tiga macam senjata yang berbeda. Senjata sang prabu ialah : pedang, cambuk, pamuk, golok, pisau tusuk (badik), keris; raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah : kujang, beliung, patik, kored, pisau sadap, detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah : kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, pakisi; danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat. Ya ketiga jenis senjata itu berbeda-beda. Demikianlah, bila kita ingin tahu tentang senjata semuanya, tanyalah pandai besi”

Bagi masyarakat di daerah Sukabumi selatan dan Banten (Baduy) anak laki-laki dan orang tua, dari dahulu hingga sekarang. sudah biasa dalam kesehariannya tidak tertinggal golok di pinggangnya. Karena golok merupakan sarana yang selalu dipergunakan setiap saat. Dalam kebiasaan masyarakat Sunda di daerah Priangan pada tahun-tahun 1950-an anak laki-laki di kesehariannya sudah biasa membawa golok yang diselipkan di pinggangnya, karena dikatakan dalam babasan orang Sunda, bahwa : Awewe paeh ngajuru, lalaki paeh diadu. ”Wanita mati melahirkan, laki-laki mati berkelahi” Makna ucapan orang tua dahulu mungkin dapat diartikan bahwa “mati” bagi seorang wanita dan laki-laki pada waktu yang sangat berguna dan dalam mempertahankan harga diri. Tapi kini kebiasaan itu sudah tidak tampak lagi, tergeser oleh kebiasaan yang lebih halus sifatnya, yaitu dalam mempertahankan harga diri tidak perlu dengan kekerasan, tapi cukup dengan tingkat pendidikan seseorang.

Hasil penelitian geologi yang modern dilengkapi pentarikhan radiometri, dikatakan bahwa Ki Sunda sudah ada di sekitar Bandung pada pembentukan Danau purba Bandung, maka itu berarti 125.000 tahun yang lalu, sedangkan homo sapien diuperkirakan baru muncul di Afrika sekitar 125.000 – 100.000 tahun yang lalu. Makhluk-makhluk itu telah mempergunakan alat batu, antara lain serpihan dari obsidian dan tersebar terutama di Asia dan Asia Tenggara, sehingga menimbulkan spekulasi keberadaan makhluk itu berada di sekitar pembentukan Danau Bandung Purba. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian geologi dengan menggunakan pentarikhan radio-isotop telah menimbulkan permasalahan mengenai asal-usul Ki Sunda yang berada di sekitar Bandung. Mereka berada di sekitar Bandung sekitar puluhan bahkan ratusan ribu tahun yang lalu jika legenda Sangkuriang itu dapat dijadikan dasar. Hal itu sesuai dengan dasar penelitian van Bemmelen, geolog dari Nederland. Dasar hukum yang mendukung ke arah hipotesis yang benar adalah dengan adanya artefak yang berada di sekitar Danau Bandung menunjukkan bahwa Ki Sunda di sekitar Bandung itu mencakup beberapa jaman yang dilaluinya, yaitu apa yang disebut jaman microlithicum atau mesolithicum, jaman neolithicum, jaman perunggu, dan jaman besi, jaman Hindu sekalipun. Situs-situs di Utara Bandung, khususnya di Dago Pakar memperlihatkan bahwa kebudayaan masa lampau Ki Sunda juga mencakup suatu industri logam (sistem metalurgi telah mereka kuasai dengan baik). Unsur-unsur temuan benda-benda prasejarah yang ada di daerah Bandung itu antara lain:
- Kapak-kapak neolitik
- Alat-alat pengasah dari batu
- Alat-alat pintal terracotta
- Sisa-sisa benda pemujaan megalitik
- Manik-manik dari gelas
- Cetakan-cetakan ‘alat penuang’ terracotta untuk membentuk benda perunggu seperti mata Tumbak, pisau, gelang, dan fragmen benda perunggu
- Beberapa alat kuno dari besi
- Sisa-sisa tuangan besi ‘iron siags’
- Keramik Cina dan Hindia Belakang
- Sisa-sisa daerah pemukiman dan pertahanan manusia purba. (Haryoto Kunto, 1986 : 42)

Senjata dalam bahasa sunda disebut juga sebagai pakakas, pakarang atau gagaman. Ketiga istilah ini mengandung makna yang berbeda sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Pakakas atau pakarang, dipergunakan oleh masyarakat Sunda dalam berbagai hal pekerjaan yang berfungsi sebagai alat untuk mempermudah dan melancarkan suatu pekerjaan.Sedangkan gagaman adalah senjata yang dipergunakan sebagai alat untuk membela diri.

Namun ketiga alat ini ditilik dari jenisnya sama-sama memiliki fungsi untuk ‘membela diri’ dan pada akhirnya sulit membedakan fungsinya antara Pakakas, pakarang, dan gagaman. Senjata itu memiliki beberapa fungsi sesuai dengan sifat dan bentuknya, Ada senjata yang berfungsi untuk menyerang ‘offence’, berfungsi untuk membela diri ‘defence’, berfungsi untuk berperang, atau berfungsi untuk berburu. Bentuk senjata yang dipergunakannya sangat bervariasi. Maka Senjata atau pakarang dalam bahasa Sunda terdiri atas beberapa jenis sesuai dengan kegunaannya seperti diungkapkan pada bab sebelumnya.
a. senjata untuk menyerang
b. senjata untuk membela diri
c. senjata untuk berperang
d. senjata untuk berburu.
e. senjata atau alat keperluan atau peralatan sehari-hari
Senjata untuk Menyerang, senjata ini biasanya merupakan senjata yang dipergunakan dalam berperang atau untuk membela diri dari serangan yang datangnya dari luar, seperti : Bedog, Ruyung, tongkat, keris, kujang, dan lain-lain.

Dalam ungkapan bahasa Sunda terdapat beberapa babasan yang berhubungan dengan senjata, yang menunjukkan bahwa senjata merupakan hal yang dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Di mana artinya bahwa senjata yang disebutkan dalam babasan tersebut dijadikan sebuah simbol baik dan buruk yang diambil dari sifat dan fungsi senjata tersebut. Ketiga senjata yang dijadikan babasan dalam bahasa Sunda tersebut adalah :
- tong nyisikudi ‘jangan mencari-cari kesalahan orang lain’
- Awas bisi kaduhung ‘menyesal’
- Ulah kitu bisi kabadi ‘terkena sumpah’
Ketiga babasan di atas jelas menunjukkan hal yang negatip, dan ketiga babasan tersebut menunjuk kepada senjata tajam yang berbahaya, yaitu kudi, duhung, dan badi. Nyisikudi arti secara harfiah adalah meraba-raba dengan telapak tangan dan ujung jari di sekitar bagian kudi yang tajam, apabila kurang hati-hati akan berakibat luka di sekitar tangan tergores oleh bagian yang tajam dari kudi tersebut. Arti secara maknawinya, nyisikudi adalah mencari-cari kesalahan orang karena dendam atau sakit hati, akibatnya sama halnya apabila tidak hati-hati akan berakibat bahaya bagi dirinya sendiri. Kaduhung, arti harfiahnya adalah tertusuk keris dari belakang. Duhung adalah senjata keris yang diselipkan di belakang ‘punggung’ kaduhung (Bs. Sunda) artinya tertusuk keris dari belakang. Sedangkan arti maknawinya adalah penyesalan, pekerjaan yang dilakukan dengan tidak hati-hati akan menimbulkan perasaan sesal atau penyesalan. Begitu pula dengan Kabadi, arti secara harfiah adalah keraksukan roh jahat karena tidak hati-hati ‘sompral’ terlalu berani dalam bicara kasar. Badi adalah senjata yang dipergunakan untuk menyerang lawan, bentuknya ramping enak untuk dibawa. Kabadi dalam bahasa Sunda berarti tertusuk badi, secara maknawi kata kabadi adalah terkena sumpah atau keraksukan roh jahat.

A. KUJANG
Tundung aing ku tungtung duhung, papag aing ku tungtung kujang !!
Sepenggal kalimat di atas, merupakan kalimat yang terlontar dari seorang Raja Pajajaran, yang gagah berani dan memandang kecil musuh di depannya. Musuh walaupun bersenjatakan duhung dan Kujang tak akan mampu melukainya, karena kewaspadaan sang raja.

Pembuatan senjata pusaka di Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, hingga di manca negara seperti Malaysia, Brunai, Thailand Selatan, Kampucia, serta Filipina Selatan dilakukan dengan menempa besi dengan dilapisi bahan pamor dan kemudian diperkuat dengan lapisan besi. Pamor itu dibentuk sedemikian rupa sehingga muncullah guratan-guratan yang disebut pamor pada permukaan bilahnya.

Kujang adalah senjata unik, nama senjata kujang tak ada yang pantas untuk dianalogikan dengan nama lainnya, sehingga kujang dianggap sama dengan sickle ‘arit/sabit’ sekalipun wujud atau bentuknya tidak sama, begitu pula dengan scimitar ‘clurit’ yang bentuknya cembung. Bagi masyarakat Pulau Jawa bagian Timur ‘Jawa’ Kujang disebut dengan istilah Kudi. Padahal antara kujang dan kudi sangat berbeda, walaupun bentuk dan wujudnya hampir sama.

Kujang adalah Sunda, Kujang idiom Sunda, kujang banyak dijadikan simbul atau pun nama tempat, bahkan kujang dijadikan babasan atau idiomatika sunda untuk menyatakan persaaan. Seperti contoh untuk menyatakan wajah kembar yang sama rupanya dalam bahasa Sunda dinyatakan seperti Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan. Untuk melukiskan seorang wanita, dalam bahasa Sunda dinyatakan Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana.

Kujang berasal dari nama seekor binatang yang bertanduk. Begitu pula sejarah kelahiran senjata kujang berasal dari sana. Kujang Papasangan, adalah istilah yang diberikan kepada senjata ini untuk menunjukkan betapa dahsyatnya senjata ini bila dipasangkan. Berawal dari rasa kekaguman terhadap binatang bernama Kud Hyang, yang bertanduk sangat tajam, ketajamannya mampu membuat patah kaki harimau atau kaki-kaki binatang lainnya yang akan menyerangnya. Kekaguman akan Ketajaman tanduk dan kelincahan binatang Kud Hyang inilah kemudian, masyarakat Sunda pada waktu itu membuat senjata ini.

Untuk lebih mengabadikan nama senjata kujang ini, banyak masyarakat memilihnya untuk dijadikan sebuah nama daerah, nama kujang selalu diuntaikan dengan kata lain, misalnya nama gunung, sungai, pasir “bukit” seperti, Parungkujang, Cikujang, parakankujang, Gunungkujang, dsb. Sedangkan nama kampung tangtu di Kanekes Baduy, Tangtu Kadukujang (Cikertawana) Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pemujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).

Tentara Nasional Indonesia (Kodam Siliwangi) pun mengambil Kujang untuk dijadikan nama salah satu Batalyonnya. Batalyon ini sangat tangguh dan mempunyai keharuman nama yang disegani di mancanegara, yaitu Batalyon Kujang (Kujang I s.d III). Begitu pula dengan nama perusahaan, untuk mengambil khasiat demi menanamkan rasa memiliki, maka diambillah nama Kujang, seperti Pupuk Kujang, Semen Kujang. Di Bogor, pemerintahan Kota Bogor merngambil Kujang untuk dijadikan sebuah tugu di tengah kotanya. Tugu Kujang menjadi ciri khas Kota Bogor. Dan sebuah Koran berbahasa Sunda yang hingga saat ini masih terus bertahan “Koran Kujang” yang terbit di Bandung.

Berbicara Kujang tak lepas dari Budaya Sunda secara keseluruhan. Kujang identik dengan Sunda, karena Kujang lambang atau simbol erksistensi Sunda. Berita mulai kapan kujang ada, memang sulit dipastikan berita sejarahnya sampai kini tidak ada. Kujang sudah ada sebelum kerajaan Pajajaran ada dan keberadaannya lebih ditekankan lagi pada jaman Pajajaran, karena pada waktu itu disebutkan dalam sebuah Pantun Bogor mengenai bendera Pajajaran “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawareh bodas sawareh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”. Kalimat di atas mencirikan bahwa kujang pada waktu itu sudah dipergunakan sebagai lambang kerajaan. Jadi kujang adalah idiom Sunda.

Ketika jaman kerajaan Pajajaran, kujang sering digunakan sebagai senjata untuk berperang, untuk kepentingan sehari-hari dan sebagai salah satu barang pusaka kerajaan. Dewasa ini pun kujang masih digunakan sebagai alat dalam upacara, misalnya di daerah Pancer Pangawinan (tersebar di daerah Bayah Kecamatan Lebak, Masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes Propinsi Banten, atau masyarakat Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat). Upacara yang dimaksud adalah upacara “nyacar” yaitu upacara memulai menebang pepohonan untuk membuka ladang ‘huma’. Pada masyarakat Baduy (baik Baduy Daleum maupun Baduy Panamping) ada sebutan atau ungkapan yang menyatakan bahwa musim untuk bekerja di ladang dicirikan dengan tanda alam yang jadi patokannya, yaitu “Unggah Kidang Turun Kujang” yang artinya jika Bintang Kidang telah muncul di langit ufuk Timur di kala subuh, itu pertanda musim ‘nyacar’ telah tiba, maka kujang sudah masanya untuk dipergunakan menebang pepohonan di hutan “baladaheun” untuk membuka ladang atau huma.

Kujang dilihat dari bentuk dan ragamnya dapat dibedakan menjadi beberapa macam bentuknya, seperti: Kujang Ciung ‘Kujang dengan bentuk yang menyerupai burung ciung”, Kujang Jago “Kujang dengan bentuk yang menyerupai ayam jago”, Kujang Kuntul “Kujang dengan bentuk yang menyerupai burung kuntul”, Kujang Bangkong “Kujang dengan bentuk yang menyerupai Bangkong / kodok”, Kujang Naga “Kujang dengan bentuk yang menyerupai Ular Naga”, Kujang Badak “Kujang dengan bentuk yang menyerupai Badak” dan Kudi “Pakarang dengan bentuk yang menyerupai kujang namun agak kurus”.

Dilihat dari fungsinya, kujang memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu : Kujang sebagai pusaka (Lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan), Kujang sebagai pakarang (Yaitu kujang yang befungsi sebagai senjata untuk berperang), Kujang sebagai pangarak (Kujang yang bertangkai panjang menyerupai Tumbak sebagai alat upacara) dan Kujang yang berfungsi Pamangkas (Kujang yang digunakan sebagai alat dalam pertanian atau alat untuk memangkas, nyacar, dan menebang).

Adapun wujud sebilah kujang memiliki bagian-bagian seperti : Papatuk atau Congo yaitu bagian ujung kujang yang runcing, digunakan untuk menoreh atau mencungkil; Eluk atau Siih yaitu lekukan-lekukan pada badan kujang, yang gunanya untuk mencabik-cabik musuh; Waruga yaitu badan kujang; Mata yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga atau bilahan kujang, jumlah lubang yang terdapat dalam kujang ini sangat bervariasi, ada kujang yang mempunyai lubang lima hingga sembilan atau ada pula kujang yang tanpa lubang, kujang semacam ini disebut Kujang Buta; Tonggong yaitu sisi yang tajam di bagian punggung kujang; Tadah yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; Paksi yaitu bagian ekor kujang yang lancip; Selut yaitu ring yang digunakan ujung gagang kujang; Combong yaitu lubang yang terdapat pada gagang kujang; dan Ganja atau Landean yaitu nama khas gagang kujang; Kowak yaitu sarung kujang; Pamor yaitu garis-garis yang tergambar di atas waruga kujang yang disebut sulangkar atau bintik-bintik yang terdapat di atas waruga kujang yang disebut tutul. Garis-garis dan bintik-bintik tersebut akan menambah nilai artistik kujang sendiri, di samping itu garis dan bintik tersebut berfungsi juga sebagai penyimpan racun.

Berbicara masalah pamor, menurut beberapa pengertian yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, bahwa pamor itu adalah : Baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah keris dan sebagainya dibuat dari baja putih; Dalam bahasa Kawi, pamor artinya campuran atau percampuran, sedangkan dalam Ensiklopedia Sunda, Alam, manusia, dan Budaya (2000 :400), disebutkan bahwa Pamor itu adalah permukaan bilah keris yang dipercaya mengandung khasiat baik atau khaisat buruk. Khasiat baik adalah pamor yang memberi keselamatan kepada pemilik atau pemakainya, yang buruk adalah pamor yang membawa sial atau ingin membunuih musuh pemilik atau pemakainya sendiri, seperti ada ungkapan: “Keris itu bila telah dikeluarkan tidak bisa dimasukkan lagi sebelum membunuh atau meminum darah musuh”. Pamor juga berarti benda pada berasal dari luar angkasa yang digunakan sebagai bahan keris. Benda yang jatuh dari langit itu dibedakan menjadi : Meteorit, yaitu benda yang mengandung besi dan nikel, bila dijadikan keris berwarna putih keabu-abuan, maka keadaan ini disebut pamor bodas, berkhasiat memberi keselamatan dan bernilai amat tinggi. Hasil penelitian Batan disebutkan bahwa batu meteorit ini mengandung titanium yang memiliki sifat ringan dengan sifat keras tinggi atau tahan tempaan, titik lebur tinggi atau tahan panas dan tidak mudah termakan karat. Karena sifat-sifat yang unggul itulah benda pusaka yang pamornya terbuat dari batu meteorit dinilai lebih tinggi dibandingkan dari nikel atau besi pamor lainnya; Siderit, benda yang hanya mengandung baja, apabila dijadikan keris, maka keris tersebut akan berwarna hitam, maka disebut pamor hideung, pamor ini biasanya berkhasiat buruk dan membahayakan; Aerolit, bahan ini bila dijadikan keris akan berwarna kuning, maka disebut pamor kancana yang berkualitas tinggi dan bekhasiat sangat baik. Dalam Kamus Basa Sunda Karangan Satjadibrata, (1954 : 278) disebutkan bahwa pamor adalah ngaran-ngaran gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun oge cahaya ‘pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar (baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat diartikan cahaya’ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1989 :720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang ditempakan pada bilah keris dan sebagainya ataui lukisan pada bilah akeris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Nama jenis Pamor yang ada pada senjata itu diperkirakan ada sekitar 87 jenis pamor, yaitu:
• Kembang pala
• Saleunjeur nyere
• Kenong Sarenteng
• Malati Sarenteng
• Padaringan Leber
• Hujan Mas
• Kemban Lo
• Batu Demprak
• Ngulit Samangka
• Kembang Lempes
• Malati Nyebar
• Simeut tungkul
• Sinom Robyong
• Beas Mawur
• Baralak Ngantay
• Sagara Hieum
• Nuju Gunung
• Rambut Keli
• Mayang Ligar
• Kembang Kopi
• Tunggul Wulung
• Kembang Angkrek
• Tundung
• Sungsum Buron
• Simbar Simbar
• Sangga Braja
• Poleng
• Ombak Sagara
• Pulo Tirta
• Manggada • Talaga Ngeyembeng
• Keureut Pandan
• Tambal Wengkon
• Huntu Cai
• Bawang Sakeureut
• Cucuk Wader
• Gunung Guntur
• Gajih
• Sanak
• Ngarambut
• Raja di Raja
• Janus Sinebit
• Kota Mesir
• Lintang Kemukus
• Kembang Tiwu
• Sisit Sarebu
• Tunggak Semi
• Oray Ngaleor
• Pari Sawuli
• Sumur Sinaba
• Selo Karang
• Lintang Purba
• Sumber
• Prabawa
• Pangasih
• Raja Kam Kam
• Rajah • Bala Pandita
• Pancuran Mas
• Sumur Bandung
• Adeg Tilu
• Tangkil
• Kendagan
• Buntel Mayit
• Kembang Pakis
• Dua Warna
• Karabelang
• Manggar
• Pandhitamangun Suka
• Borojol
• Bugis
• Gedur
• Tunggak Semi
• Tambol
• Tumpuk
• Sekar Susun
• Huntu Simeut
• Raja Temenang
• Pulo Duyung
• Bulan Lima
• Pupus Aren
• Wulan Wulan
• Urab Urab
• Singkir
• Ros Tiwu
• Rante

Dalam senjata Kujang terdapat mata, mata ini melambangkan mandala yang dipercayai oleh masyarakat Sunda. Apabila sebuah kujang bermata 9 (sembilan), maka kujang tersebut melambangkan sembilan tahap mandala. Mandala ini merupakan “dunia” yang ada dalam Agama Sunda Wiwitan yang akan dilalui manusia, yaitu : Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Kama, Mandala Rasa, mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang berdosa ketika hidup di dunia disebut Buana Karma atau Jagat pancaka “Neraka”.

Berdasarkan jumlah mata yang ada dalam Kujang tersebut, maka tidak sembarangan orang membawa kujang itu. Misalnya, Kujang Ciung bermata sembilan hanya dipergunakan atau dibawa khusus oleh raja, sedangkan kujang yang bermata tujuh dipergunakan / dibawa oleh Mantrri Dangka dan Prabu Anom. Kepemilikan Kujang Ciung yang bermata lima dipergunakan / dibawa oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis dan para Bupati Pakuan.

Begitu pula dengan kujang-kujang yang lainnya, tidak sembarang orang membawa dan mempergunakannya, karena setiap jenis kujang memiliki khasiat dan tuah tertentu. Untuk jenis Kujang Jago, biasanya dipergunakan atau dibawa oleh orang setingkat Bupati, Para Lulugu, dan Sambilan. Jenis Kujang Kuntul dipergunkan oleh Para Patih (Patih Puri, Patih Taman, patih Tangtu, Patih Jaba, dan patih Palaju) di samping itu kujang ini dipergunakan oleh para Mantri, seperti Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang dan Mantri Jero.

Jenis Kujang Bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, dan Guru Cucuk. Jenis Kujang Naga dipergunakan oleh para Kanduru, Para Jaro, Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan. Sedangkan Kujang Badak dipergunakan oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Panglongok, para Palayang, para Pangwelah, para Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan para Kokolot.

Kujang yang dipergunakan atau dibawa sebagai senjata oleh para tokoh agama, yaitu Kujang Ciung yang jumlah ‘mata’-nya disesuaikan dengan tingkatan kependetaannya. Para tokoh agama ini disebut Brahmesta ‘pendeta agung negara’. Jenis kujang yang dipergunakan oleh para pendeta atau ahli agama yang disebut Pandita adalah Kujang Ciung bermata tujuh, sedangkan Kujang Ciung bermata lima dipergunakan oleh para Geurang Puun. Kujang Ciung bermata tiga dipergunakan oleh para Puun, sedangkan para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama mempergunakan Kujang Ciung bermata satu.

Para Ahli agama ini pun memiliki satu jenis kujang yang khusus, kujang yang dipergunakannya bertangkai panjang yang disebut Kujang Pangarak. Kujang Pangarak ini biasanya dipergunakan dalam berbagai upacara keagamaan sakral, seperti Upacara Bakti Arakan, Upacara Kuwera Bakti. Apabila dalam keadaan darurat dan mendesak, fungsi kujang Pangarak ini dapat dipergunakan untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi Kujang Pangarak yang sebenarnya adalah sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.

Senjata Kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun dalam cerita Pantun Bogor tidak dijelaskan bahwa rakyat kecil atau rakyat biasa mempergunakan berbagai jenis kujang. Senjata Kujang hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom ‘putra mahkota’, golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para putri, serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, mereka hanya mempergunakan senjata tradisional atau pakakas seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang yang fungsinya digunakan hanya untuk bertani dan berladang.

Dalam kepemilikan kujang, setiap orang tidak selalu sama baik jenis dan bentuknya, disesuaikan dengan tingkatan atau status seseorang di masyarakat. Bentuk kujang untuk raja tidak boleh sama dengan kujang milik bupati, demikian pula kujang milik bupati tidak boleh sama dengan kujang milik kokolot, begitulah seterusnya.

Tingkatan status sosial masyarakat pada masa kerajaan Pajajaran, dapat dilihat sebagai berikut :
1. Raja
2. a. Lengser
b. Brahmesta
3. Prabu Anom “Putra mahkota”
4. Bupati Panangkes dan Balapati
5. Girang Seurat
6. Para Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan
7 Para Patih termasuk Patih Tangtu danm Matri Paseban
8. Para Lulugu
9. Para Kanduru
10. Para Sambilan
11. Para Jaro termasuk Jaro Tangtu
12. Para Baresan, Para Guru, Para Pangwereg
13. Para Kokolot.
Kedudukan sosial Prabu Anom (3) sampai para Baresan, para Guru, dan Para Pangwereg (12) tergabung dalam golongan Pangiwa dan Panengen.

Kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) Pakuan dan golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya Putri Raja, Putri Kabupatian, Para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang dipergunakan oleh kaum ini adalah kujang Ciung dan Kujang Kuntul, hal ini karena bentuknya sangat langsing tidak terlalu lebar atau “galadag”.

Untuk membedakan status kepemilikannya antara kaum pria dan wanita pun sama yaitu dilihat dari banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dijadikan senjata itu. Biasanya untuk kaum wanita bangsawan Pakuan mempergunakan kujang bermata lima Sulangkar, dan bahannya terbuat dari besi kuning pilihan, sedangkan bagi wanita yang mempunyai tugas dan fungsi lainnya, biasanya mempergunakan kujang bermata tiga ke bawah hingga kujang buta, pamor tutul, yang bahan pembuatannya dari besi baja pilihan.

Bahan besi pilihan tersebut disesuaikan dengan campuran ‘metalurgi’ besi tertentu, di antaranya :
Besi Balitung, Besi Purasani, Besi Panawang, Besi Sinduaji, Besi Kantet, Besi Kalang, Besi Karang Kijang, Besi Walulin, Besi Macangkang, Besi Malela, Besi gendaga, dan yang paling bagus adalah Tosan Aji “Batu mulia” yang memiliki titik lebur yang berbeda dengan besi.

Untuk wanita yang bukan termasuk golongan bangsawan seperti disebutkan di atas, biasanya mereka mempergunakan senjata yang disebut Kudi, alat ini bentuk kedua sisinya sama, bergerigi seperti kujang, ukurannya sama dengan kujang bikang “kujang yang dipergunakan wanita” yang bentuknya langsing dengan ukuran panjang kira-kira satu jengkal, termasuk tangkainya, sedangkan bahannya semuanya besi baja. Senjata kudi ini dibuat dengan cara sehalus mungkin dan tidak mempunyai mata.

Kujang yang terbuat dari bahan logam ini memiliki khasiat yang bermcam-macam sesuai dengan tata cara membuat dan peruntukkannya. Proses pembuatan kujang pada masa silam yaitu pada jaman Pajajaran, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam memiliki patokan-patokan khusus yang harus dipenuhi oleh si pembuat, apabila tidak akan membawa bencana. Seorang ahli pembuat atau “Guru Teupa” harus mengetahui patokan waktu untuk memulai mengerjakan pekerjaannya. Waktu akan dikaitkan dengan pemunculan bintang di langit, bintang yang ada kaitan dengan tata cara pembuatan kujang ini adalah Bintang Kerti. Dalam idiomatika Urang Kanekes ‘Baduy” ada sebutan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk timur waktu subuh pertanda masanya kujang digunakan untuk nyacar (berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi yang sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda memulai mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam. Patokan seperti ini masih dilaksanakan hingga saat ini di lingkungan masyarakat Urang Kanekes. Patokan lainnya adalah Kesucian “Guru Teupa” dalam mengerjakan penempaan kujang dari awal hingga akhir pembuatan harus berada dalam tingkat kesucian yang benar-benar terjaga, agar hasil yang didapat dari pembuatan kujang itu bermutu dan berkualitas. Guru Teupa harus melakukan olah tapa ‘berpuasa’ agar terlepas dari hal-hal buruk, sehingga kujang yang dibuatnya akan bermutu dan berkhasiat. Bahkan untuk pembuatan kujang pusaka atau kujang bertuah, Guru Teupa di samping harus olah tapa, harus pula memiliki rasa estetika yang tinggi agar bentuk kujang yang diinginkan akan berwujud kujang yang indah. Dan untuk menambah daya magis sebuah kujang, Guru Teupa harus memiliki ilmu kesaktian yang tinggi pula, agar nuansa gaib yang ditimbulkan nantinya lebih bersinar.

Untuk pembuatan sebuah kujang yang berkualitas, diperlukan bahan-bahan yang terpilih, tidak sembarang, dan benar-benar dari bahan yang boleh dikatakan dari yang terbaik. Bahan yang diperlukan biasanya besi, besi kuning, baja, perak atau emas untuk membuat waruga ‘badan kujang’ dan untuk selut ‘ring tangkai kujang’. Untuk memperindah kujang, maka diperlukan tangkai atau istilahnya Landean atau Ganja yang terbuat dari kayu, tanduk atau gading. Kayu untuk tangkai kujang yang paling baik adalah Akar Kayu Garu, karena kayu ini memiliki aroma yang khas. Sedangkan untuk warangka, kowak dan / atau kopak ‘sarung kujang’ terbuat dari papan Kayu Samida. Kayu ini pun memiliki aroma yang khas untuk menambah daya magis kujang. Sebuah kujang pusaka dalam penampilan yang penuh daya magis akan terlihat dari ‘mata’ atau ‘pamor’ yang ada dalam kujang tersebut. Untuk lebih menambah daya magis itu, maka emas, perak atau bahkan manik-manik permata lainnya adalah bahan yang dipilih.

Pembuatan pamor ini, tidak hanya sampai di situ, Peurah ‘bisa binatang’ dipilih untuk menambah khasiat atau tuah sebuah kujang. Bisanya peurah dari binatang ular Tiru, peurah ular tanah, peurah ular Gibug, peurah kalajengking, dan racun dari berbagai tumbuhan serpewrti geutah ‘getah’ akar Leteng, geutah Caruluk ‘buah enau/ kolangkaling’ atau serbuk daun Rarawea. Guna semua racun dan bisa ini adalah untuk menambah kekuatan pamor kujang yang mematikan, meskipun tidak ditusukkan, tetapi hanya digoreskan saja musuh pun mati.

Seperti dalam uraian di atas, seorang Guru teupa harus memiliki kesucian dan kesaktian ilmu gaib. Untuk mengisi agar sebuah kujang memiliki daya magis yang kuat, maka harus diisi dengan gaib sakti. Dari sifatnya gaib sakti ini ada dua macam, yaitu gaib sakti yang pembawaannya buruk atau jahat dan gaib sakti yang pembawaannya baik. Gaib sakti yang pembawaannya buruk atau jahat, biasanya roh yang mengisi kujang tersebut adalah roh-roh dari binatang, seperti roh harimau, roh ular, roh siluman, dsb. Sedangkan gaib sakti yang pembawaannya baik adalah roh atau gaib para leluhur atau para guriyang yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.

Gosali, Kawesen, atau kini disebut dengan panday adalah nama tempat pembuatan berbagai jenis senjata tajam yang ditempa, baik pisau, golok, sunduk, kudi, dan sebagainya. Sedangkan tempat yang khusus untuk membuat Kujang adalah Paneupaan. Tempat ini harus dijaga benar dari kebersihan dan kesucian agar ‘kujang’ yang dihasilkan akan lebih berkhasiat dan bermutu. Berkaitan dengan istilah Paneupaan, Dalam Pantun Bogor yang berjudul Kalangsunda Makalangan, ada ungkapan yang menggambarkan kemiripan antara tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat Yuni Kudi sagosali, rua kujang sa-paneupaan. Kata paneupaan di sini berasal dari kata dasar “teupa” ditambah prefiks pa-an. Prefiks Pa-an, dalam bahasa Sunda dapat berarti menunjukkan tempat, sedangkan teupa dapat berarti membuat atau orang yang ahli dalam membuat kujang. Jadi kata paneupaan menunjukkan arti tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini pun sangat erat kaitannya dengan orang yang ahli dalam membuat kujang disebut sebagai Guru Teupa.

Kujang sebagai senjata sakral, maka ada tata cara untuk dibawa oleh seseorang, sehingga ada beberapa cara dalam membawa kujang tersebut, yaitu:
a. Disoren, yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang. Kujang yang dibawa dengan cara disoren biasanya Kujang Galabag ‘kujang yang yang lebar’, seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya ‘warangka’ atau sarungnya cukup besar.
b. Ditogel, membawa kujang dengan cara diselipkan pada sabuk di depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara demikian adalah Kujang Bangking ‘kujang yang ramping’, seperti kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, dan Kudi yang ukuran kowaknya lebih kecil. Demikian pula dengan kujang yang termasuk kujang ageman ‘bertuah’ selalu dibawa dengan cara ditogel.
c. Dipundak, membawa kujang dengan cara dipikul tangkainya yang panjang. Cara membawa kujang seperti ini seperti cara membawa Tumbak. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini adalah kujang Pangarak, karena memiliki tangkai yang cukup panjang.
d. Dijinjing, membawa kujang dengan cara ditenteng. Tangkai kujang dipegang sedangkan congo atau ujung kujang berada di bawah. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini adalah kujang pamangkas, sebab kujang pamangkas seperti ini tidak mempunyai kowak atau warangka.
Senjata tradisional Kujang jika dilihat dari bentuk dan ekornya (paksi), bentuknya sama dengan lazimnya ekor senjata tajam lainnya yaitu memilki tangkai atau gagang seperti golok, arit, atau pisau, agar mudah dibawa dan dipegang apabila sedang dipergunakan baik melawan musuh atau dipergunakan untuk membela diri. Kujang Pajajaran memiliki tangkai yang lengkap dengan ganjanya dan juga kowaknya ‘sarungnya’, hal itu disebabkan karena kujang dapat dijadikan sebagai alat atau senjata untuk melawan dan membela diri atau kujang sebagai senjata pusaka.



Sunda Wiwitan


(Bahasa Sunda: "Sunda permulaan", "Sunda sejati", atau "Sunda asli") adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Leba...k, Banten; Ciptagelar Kasepuhan gama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan aaBanten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangankepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".

Mitologi dan sistem kepercayaan

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagaiBatara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
  1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
  2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
  3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernamaBumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
  
Filosofi

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
  • Welas asih: cinta kasih
  • Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
  • Tata krama: tatanan perilaku
  • Budi bahasa dan budaya
  • Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
  • Rupa
  • Adat
  • Bahasa
  • Aksara
  • Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
  • Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
  • Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi

Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi;Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.